MUSIBAH DI NEGERI ANTAH BARANTAH
1/24/2014
Maa ashoba mimmusibatin fil ardhi wala fii anfusikum illa fiiktabimmingkobli annabro ahaa inna dzalika illahohi yasiir. Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. ( Q.S Alhadid : 22 ).
Dinegeri antah barantah yang dentingan musik dan nyanyian kedamaian terus dilantunkan tapi semua ironis dengan kenyataan yang terjadi tak seindah alunan citarasa keindahan yang diharapkan, semua berbanding terbalik dengan mimpi-mimpi yang dibangun dialam demokrasi berbangsa dan bernegara. Semua seakan lupa akan kewajiban-kewajiban bahkan sibuk memperjuangkan bualan-bualan semu yang membuat semakin jengah ada apa gerangan nasib negeri antah barantah.
Berhala-berhala yang dulu berupa bongkahan-bongkahan tegap sekarang telah bermetamorfosa menjadi ketakutan-ketakutan akut yakni takut hilangnya sebuah kemapanan dunia yang menjadi tolak ukur manusia dialam dunia dimasa kini menjelma menjadi rasa takut yang tak terbantahkan seperti takut musnahnya Harta dan jabatan sehingga melupakan akan tanggung jawab yang diembannya. Nurani kian menjauh dari kesadaran batas normal menghalakan segala cara saling sikut tak memperdulikan siapa korbannya. Dia lupa semua itu akan diminta pertanggungjawaban kelak, korban matinya hati tak perduli dengan ratapan-ratapan pilu ditengah negeri antah barantah yang kian terpuruk tonggak kepercayaan kian terkikis perlahan dan pasti krisis kepercayaan kian membatu.
Kekacauan Negeripun semakin menyeruak diberbagai aspek kehidupan, nilai-nilai ketimuran dan nilai-nilai agama dikesampingkan tak memperdulikan arti pentingnya lagi. Tunas-tunas yang tumbuh seperti hilang makna tergerus suasana kebebasan dan tanpa malu mengakui melakukan kesalahan dengan muka segar dan senyum terkembang. Aturan-aturan agama cuma dianggap batu penghalang dan menjadi tembok yang perlu dihilangkan bahkan dianggap usang tanpa makna, sungguh ironis dimana saat ini kondisi yang dianggap jauh lebih beradab dari masa lalu tapi kenyataannya mirip keadaan jaman kegelapan. Fir'aun hanya membunuh bayi yang lahir tapi kini bayi belum lahirpun sudah dipaksa melepaskan nyawanya demi egoisme sesaat menjadi korban-korban kematian rasa sungguh memperihatinkan apakah kondisi saat ini negeri antah barantah jauh dari peradaban yang semestinya rasanya tidak mungkin.
Sebagian penghuni negeri antah barantah berlomba-lomba membentuk gunung-gunung menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang kokoh demi arogansi keserakahan bahkan terus bertransisi diberbagai aspek, mengakibatkan hijaunya dedauan semakin kering dan berguguran, indahnya pegunungan dan gemercik riak sungai seakan berubah menjadi mimpi disiang bolong. Lahan-lahan bersenda gurau pohon-pohon berubah menjadi beton-beton yang tersenyum pongah ini salah siapa? apakah ego kepala dan perut manusia yang mengalahkannya. Tak menyadari bala tentara kehidupan lain yang kehilangan rumah indahnya, kehilangan siulan pagi dan selimut putih yang menutupinya karena rumah-rumah indah mereka kian tergusur menjadi perkebunan-perkebunan yang cuma menjadi sapi perahan penghuni congkak negeri antah barantah yang lalim dan rakus.
Kepedulian lingkungan alam dan lingkungan sosial semakin jauh ditanamkan kepada tunas-tunas muda yang hanya menjadi ladang penjajahan konsumtif negara tetangga, tunas yang seharusnya dilatih menjadi calon-calon produktif yang kelak menjadi penerus bendera yang mengokohkan eksistensi negeri antah barantah. Ditengah kondisi tersebut pasti masih ada jarum yang tersembunyi dibalik jerami dan ada mutiara yang tersimpan ditumpukan bebatuan.
Saat langit menangis, gunung-gunung marah memuntahkan laharnya, sungai-sungai marah melimpahkan bah ribuan sampai trilyunan liter air. Kondisi tersebut justru malah tak disadari penduduk negeri yang cuma sibuk mencari kambing hitam siapa yang salah dan patut untuk disalahkan tanpa mau berintropeksi diri akan enggannya alam bersabat. Apakah salah saat alam meluapkan kemarahannya,segeralah berintropeksi diri.
Dalam hal ini penduduk negeri lupa marahnya alam bisa menjadi musibah atau teguran akibat daribobroknya mental penduduk negeri maka wajar Tuhan menurunkan bencana atau adzab yang tak memandang siapa yang menerimanya. Ratapan dan tangisan sudah terlambat penduduk negeri antah barantah ini segeralah intropeksi diri. Dari sudut pandang keindahan kejadian inipun bisa menjadi bentuk perhatian atau teguran dariNya yang tak melupakan mahluknya untuk senantiasa mengikuti kodratnya dialam dunia yang fana ini. Sementara bagi penduduk yang lalim ini bisa ajang tolak ukur untuk membiaskan keikhlasan dalam meningkatkan pamor bendera yang diangkatnya memanfaatkan moment-moment sebagai bentuk kepedulian pada sesama tapi ditumpangi niatan lain sungguh ironis seperti menginjak kepala saudaranya sendiri. Begitupun para pecinta keindahan dunia sebagai raja-diraja ini dianggap adalah musibah yang memusnahkan kerajaannya gelimangan materi-materi diperhitungkan tiap jengkalnya, dia lupa yang dimiliki ada bagian-bagian saudaranya yang terlupakan yakni kewajiban-kewajiban peduli pada sesama dianggap menjadi beban penghambat lajunya berakibat pada gelapnya mata hati dan membatunya hati sungguh memperihatinkan.
Apapun yang terjadi dinegeri antah barantah itu mudah bagiNya membalikan yang diatas ke bawah maupun yang dibawah keatas disaat semua penduduk negeri sudah melampaui batas-batas ketentuan kodrat insani. Diapun Maha diatas segala Maha yang ada didunia ini merahmati seluruh mahluk yang ada didunia tanpa melihat sisi kebaikan dan keburukannya semua sudah diatur atas kehendaknya bahkan sebelum penduduk antah barantah itu terlahir kedunia. Segeralah berkaca dan intropeksi diri semua kejadian pasti ada kemudahan yang menyertainya karena disetiap kesulitan pasti ada kemudahan.
"ocehan kosong tanpa makna"
Dinegeri antah barantah yang dentingan musik dan nyanyian kedamaian terus dilantunkan tapi semua ironis dengan kenyataan yang terjadi tak seindah alunan citarasa keindahan yang diharapkan, semua berbanding terbalik dengan mimpi-mimpi yang dibangun dialam demokrasi berbangsa dan bernegara. Semua seakan lupa akan kewajiban-kewajiban bahkan sibuk memperjuangkan bualan-bualan semu yang membuat semakin jengah ada apa gerangan nasib negeri antah barantah.
Berhala-berhala yang dulu berupa bongkahan-bongkahan tegap sekarang telah bermetamorfosa menjadi ketakutan-ketakutan akut yakni takut hilangnya sebuah kemapanan dunia yang menjadi tolak ukur manusia dialam dunia dimasa kini menjelma menjadi rasa takut yang tak terbantahkan seperti takut musnahnya Harta dan jabatan sehingga melupakan akan tanggung jawab yang diembannya. Nurani kian menjauh dari kesadaran batas normal menghalakan segala cara saling sikut tak memperdulikan siapa korbannya. Dia lupa semua itu akan diminta pertanggungjawaban kelak, korban matinya hati tak perduli dengan ratapan-ratapan pilu ditengah negeri antah barantah yang kian terpuruk tonggak kepercayaan kian terkikis perlahan dan pasti krisis kepercayaan kian membatu.
Kekacauan Negeripun semakin menyeruak diberbagai aspek kehidupan, nilai-nilai ketimuran dan nilai-nilai agama dikesampingkan tak memperdulikan arti pentingnya lagi. Tunas-tunas yang tumbuh seperti hilang makna tergerus suasana kebebasan dan tanpa malu mengakui melakukan kesalahan dengan muka segar dan senyum terkembang. Aturan-aturan agama cuma dianggap batu penghalang dan menjadi tembok yang perlu dihilangkan bahkan dianggap usang tanpa makna, sungguh ironis dimana saat ini kondisi yang dianggap jauh lebih beradab dari masa lalu tapi kenyataannya mirip keadaan jaman kegelapan. Fir'aun hanya membunuh bayi yang lahir tapi kini bayi belum lahirpun sudah dipaksa melepaskan nyawanya demi egoisme sesaat menjadi korban-korban kematian rasa sungguh memperihatinkan apakah kondisi saat ini negeri antah barantah jauh dari peradaban yang semestinya rasanya tidak mungkin.
Sebagian penghuni negeri antah barantah berlomba-lomba membentuk gunung-gunung menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang kokoh demi arogansi keserakahan bahkan terus bertransisi diberbagai aspek, mengakibatkan hijaunya dedauan semakin kering dan berguguran, indahnya pegunungan dan gemercik riak sungai seakan berubah menjadi mimpi disiang bolong. Lahan-lahan bersenda gurau pohon-pohon berubah menjadi beton-beton yang tersenyum pongah ini salah siapa? apakah ego kepala dan perut manusia yang mengalahkannya. Tak menyadari bala tentara kehidupan lain yang kehilangan rumah indahnya, kehilangan siulan pagi dan selimut putih yang menutupinya karena rumah-rumah indah mereka kian tergusur menjadi perkebunan-perkebunan yang cuma menjadi sapi perahan penghuni congkak negeri antah barantah yang lalim dan rakus.
Kepedulian lingkungan alam dan lingkungan sosial semakin jauh ditanamkan kepada tunas-tunas muda yang hanya menjadi ladang penjajahan konsumtif negara tetangga, tunas yang seharusnya dilatih menjadi calon-calon produktif yang kelak menjadi penerus bendera yang mengokohkan eksistensi negeri antah barantah. Ditengah kondisi tersebut pasti masih ada jarum yang tersembunyi dibalik jerami dan ada mutiara yang tersimpan ditumpukan bebatuan.
Saat langit menangis, gunung-gunung marah memuntahkan laharnya, sungai-sungai marah melimpahkan bah ribuan sampai trilyunan liter air. Kondisi tersebut justru malah tak disadari penduduk negeri yang cuma sibuk mencari kambing hitam siapa yang salah dan patut untuk disalahkan tanpa mau berintropeksi diri akan enggannya alam bersabat. Apakah salah saat alam meluapkan kemarahannya,segeralah berintropeksi diri.
Dalam hal ini penduduk negeri lupa marahnya alam bisa menjadi musibah atau teguran akibat daribobroknya mental penduduk negeri maka wajar Tuhan menurunkan bencana atau adzab yang tak memandang siapa yang menerimanya. Ratapan dan tangisan sudah terlambat penduduk negeri antah barantah ini segeralah intropeksi diri. Dari sudut pandang keindahan kejadian inipun bisa menjadi bentuk perhatian atau teguran dariNya yang tak melupakan mahluknya untuk senantiasa mengikuti kodratnya dialam dunia yang fana ini. Sementara bagi penduduk yang lalim ini bisa ajang tolak ukur untuk membiaskan keikhlasan dalam meningkatkan pamor bendera yang diangkatnya memanfaatkan moment-moment sebagai bentuk kepedulian pada sesama tapi ditumpangi niatan lain sungguh ironis seperti menginjak kepala saudaranya sendiri. Begitupun para pecinta keindahan dunia sebagai raja-diraja ini dianggap adalah musibah yang memusnahkan kerajaannya gelimangan materi-materi diperhitungkan tiap jengkalnya, dia lupa yang dimiliki ada bagian-bagian saudaranya yang terlupakan yakni kewajiban-kewajiban peduli pada sesama dianggap menjadi beban penghambat lajunya berakibat pada gelapnya mata hati dan membatunya hati sungguh memperihatinkan.
Apapun yang terjadi dinegeri antah barantah itu mudah bagiNya membalikan yang diatas ke bawah maupun yang dibawah keatas disaat semua penduduk negeri sudah melampaui batas-batas ketentuan kodrat insani. Diapun Maha diatas segala Maha yang ada didunia ini merahmati seluruh mahluk yang ada didunia tanpa melihat sisi kebaikan dan keburukannya semua sudah diatur atas kehendaknya bahkan sebelum penduduk antah barantah itu terlahir kedunia. Segeralah berkaca dan intropeksi diri semua kejadian pasti ada kemudahan yang menyertainya karena disetiap kesulitan pasti ada kemudahan.
"ocehan kosong tanpa makna"