CARA MENDIDIK ANAK YANG BAIK ADALAH HINDARI BEBERAPA KESALAHAN-KESALAHAN DALAM MENDIDIK ANAK
5/14/2015
Kesempurnaan orang tua adalah saat dimana melihat anak-anaknya berhasil seseorang yang patut dibanggakan dan membuat kedua orang tua menangis karena bangga pada anak-anaknya. Semua itu ditunjang oleh pola asuh dan pola pendidikan yang tepat, serta menggunakan cara-cara mendidik anak dengan metoda yang mudah dipahami oleh anak-anaknya. Tidak sedikit pertumbuhan psikologi seorang anak akan terganggu hingga terbawa sampai usia dewasa hal itu tersebut dikarenakan kesalahan dalam cara mendidik anak yang tidak tepat, dampak buruknya akan terus dan terus mempengaruhi setiap lembar kehidupannya.
Dalam mendidik anak selai keterlibatan dari orang tuanya juga diperlukan pendidikan dilingkungan yang tepat hal itu berguna agar tumbuh kembang anak bisa menjadi manusia yang mampu berjiwa sosial. Seperti analogi untuk memotong kuku tangan kiri membutuhkan tangan kanan begitupun sebaliknya, sehingga untuk mendidik seorang anakpun diperlukan keterlibatan pihak-pihak selain kedua orang tuanya seperti guru-guru dan patut untuk diperhatikan harus dengan guru yang tepat bagi anak tersebut. Salah memilih gurupun dampaknya akan jauh dari harapan bahkan akan jauh dari apa yang diperkirakan oleh kedua orang tuanya.
Selain itu untuk mendidik anak kedua orang tuanya patut untuk mengupgrade pemahamannya tiap hari hal itu agar dalam mendidik anak-anaknya sesuai kondisi zaman dimana mereka hidup, jadi pola pendidikan yang diterima oleh kedua orang tuanya belum tentu akan sesuai dengan pola pendidikan anak-anaknya karena mereka hidup pada zaman yang berbeda, contoh kecil pada era anak-anak kedua orang tuanya saat itu belum ada gadged seperti saat ini yang tak sukar untuk ditemukan itu hanya sebuah contoh kecil saja.
Bagi seorang muslim mungkin sudah mengenal siapa itu sayyidina Umar bin Khoththab yang memberikan pesan begitu mulia “Didiklah anak-anakmu, karena mereka akan hidup pada zaman yang berbeda dengan zamanmu,” demikian pesan Khalifah Kedua Umat Islam, Umar bin Khaththab. Pesan yang mudah untuk dipahami.
Salah satu cara mendidik anak yang baik tentu saja melalui perantara lisan, namun disayangkan tidak sedikit orangtua dalam hal ini khususnya ibu, yang belum betul-betul memahami akan pentingnya menjaga kata-kata ketika di depan anak-anaknya, karena itu dapat berpengaruh signifikan besar pada perkembangan diri, psikologis, dan konsep diri pada anak.
Adapun beberapa hal yang patut untuk dihindari dari kesalahan-kesalahan dalam mendidik anak yang sebaiknya untuk tidak diucapkan kepada anak, terutama saat usia dini hingga tujuh tahun:
1. Memberikan Pernyataan Yang Negatif Perihal Diri Anak
Sebagai contoh
“Kamu ini anak yang pelit ya!”
“Dasar Kamu anak pemalas!”
“Kamu itu gendut!”
“Kamu nakal Banget!”
Dari beberapa Jenis pernyataan diatas hal itu dapat menyakiti perasaan dari anak-anak. Mereka akan menjadi seperti apa yang telah kedua orang tua mereka katakan padanya. Hal ini teramat sangat berbahaya, mengingat dari kata-kata yang diucapkan oleh seorang ibu bisa berarti menjadi doa untuk anak-anaknya.
Namun sebaliknya, untuk mengatakan hal-hal positif kepada anak. Apabila anaknya menerima nilai yang buruk, maka tak perlu untuk mengatakan, “Kamu itu memang bodoh!”; tetapi katakan sesuatu yang lebih tepat. Contohnya, katakanlah, “Jika kamu belajar lebih giat lagi, maka kamu akan mendapatkan nilai yang jauh lebih baik dibandingkan hari ini sebetulnya kamu adalah anak yang pintar.” Dengan demikian kata-kata seperti itu akan jauh lebih menenangkan hati hati anak?
2. Mengatakan “Jangan Ganggu, Ibu Sedang Sibuk!”
Dari ucapan tersebut tampaknya seperti hal yang biasa dan normal. Ketika seorang ibu sedang sibuk memasak di rumahnya. Atau dimana ayah sedang sibuk pula membaca berita menarik di koran. Atau bahkan sedang melanjutkan tugas yang dibawanya dari kantor. Sehingga ia mengunci diri di kamar agar bisa fokus dalam pekerjaannya. Hingga kemudia tiba-tiba anak datang untuk memintanya sebuah bantuan. Dalam situasi yang ketat tersebut, kedua orang tuanya dapat berteriak pada anak, “Jangan ganggu dulu! Tahu tidak Ayah dan ibu sedang sibuk! ”
Menurut Suzette Haden Elgin PhD., seorang penulis yang juga seorang pelatih bela diri verbal yang dikutip dari parenting.com, menyebutkan bahwa jika kedua orang tua bertindak seperti itu, maka anak-anak mungkin akan merasa tidak berarti, karena apabila mereka meminta sesuatu pada kedua orang tuanya, mereka akan dihardik untuk segera pergi.
Dapat dibayangkan apa yang terjadi Jika sikap tersebut itu diterapkan pada anak-anak, maka hingga mereka tumbuh dewasa, kemungkinan besar yang terjadi adalah mereka akan merasa bahwa tidak akan ada gunanya untuk berbicara dengan kedua orangtuanya karena semua itu akan dianggap sia-sia.
Suzette lebih menyarankan agar jika memang sedang dalam keadaan benar-benar sibuk, maka cobalah untuk mengalihkan perhatian anak-anak untuk melakukan kegiatan yang lain sebelum kita membantu mereka. Misalnya, jika saat mereka meminta bantuan dalam melakukan pekerjaan rumah mereka sementara kondisi saat itu keadaan kedua orang tua sedang benar-benar sibuk, maka mintalah pada mereka untuk melakukan aktivitas lain terlebih dahulu seperti menonton TV. Hingga kemudian, datangilah mereka untuk membantunya, dengan catatan porsi waktu untuk anak menunggu tersebut tidak terlalu lama.
3. Mengatakan pernyataan yang tidak tepat “Kamu Jangan Menangis!”
Ketika berurusan dengan anak-anak yang bertengkar dengan teman-temannya atau merasa kecewa akibat dari perlakuan tertentu, maka yang harus menyikapinya dengan cara yang bijaksana. Tidak perlu untuk memarahi atau bahkan meminta anak-anak agar tidak cengeng. Tidak sedikit anak-anak yang mengalami hal tersebut, dimana orang tuanya mengatakan pada mereka, “Kamu Jangan cengeng!”, “Jangan sedih!”, “Jangan takut!”
Menurut Debbie Glasser, seorang psikolog anak, mengungkapkan bahwa kata-kata tersebut akan mengajarkan pada anak-anak bahwa perasaan sedih merupakan sesuatu hal yang tidak umum, dan menangis bukanlah suatu hal yang baik, sementara menangis sendiri merupakan salah satu ekspresi dari emosi tertentu yang dimiliki setiap manusia.
Maka karena itu, dalam menangani masalah tersebut, akan lebih baik jika meminta pada anak-anak untuk menjelaskan hal apa yang telah membuat mereka sedih. Apabila mereka merasa diperlakukan tidak adil oleh teman-teman mereka, maka jelaskan pada mereka bahwa perilaku tersebut yang dilakukan teman-teman mereka adalah perbuatan yang tidak baik.
Dengan memberikan pemahaman pada mereka akan gambaran perasaan yang sedang mereka rasakan, maka orang tua telah memberikan pada mereka suatu pelajaran empati. Anak-anak yang sedang menangis akan segera menghentikan tangisnya atau setidaknya mereka juga akan mengurangi tangisan.
4. Membanding-bandingkan Anak
Contohnya “Coba lihatlah kakakmu, dia bisa melakukannya dengan cepat. Mengapa kamu tidak bisa melakukannya juga?”
“Temanmu bisa menggambar dengan bagus, tetapi kenapa kamu tidak?”
“Dulu ketika ibu kecil bisa begini begitu, masa kok kamu tidak bisa?!”
Dengan membanding-bandingkan anak itu hanya akan membuat keadaan anak akan merasa bingung serta menjadi kurang percaya diri. Lebih parah bahkan anak-anak akan membenci kedua orang tuanya itu disebabkan mereka selalu mendapatkan perlakuan buruk dari perbandingan tersebut (terhadap kakak, adik, atau anak-anak lain), sedangkan perkembangan tiap-tiap anak adalah berbeda.
Daripada terus membandingkan anak-anak, Orang tua sebaiknya membantu untuk menyelesaikan dan memecahkan persoalannya. Misalnya, ketika anak mengalami masalah dalam mengenakan pakaian mereka sedangkan saudara mereka bisa melakukannya lebih cepat, orang tua harus membantu mereka untuk melakukannya dengan benar.
5. Mengatakan “Tunggu Ayah Pulang ya! Nanti kamu akan dihukum ayah!”
Ada kalanya ketika seorang ibu sedang berada di rumah bersama dengan anak-anak mereka tanpa ada ayahnya. Pada saat anak melakukan suatu kesalahan, ibu tidak segera memberitahu perihal kesalahan yang mereka buat. Ibu hanya mengatakan, “Tunggu sampai ayahmu pulang.” Ini berarti menunggu sampai ayahnya yang akan menghukumnya nanti.
Dengan menunda mengatakan dan memberitahu kesalahan mereka itu hanya akan memperburuk keadaan. Ada kemungkinan bahwa ketika seorang ibu menceritakan kembali kesalahan yang telah dilakukan oleh anak-anak mereka, ibu malah membesar-besarkannya sehingga anak-anak menerima hukuman yang lebih dari seharusnya.
Ada kemungkinan juga orang tua menjadi lupa kesalahan akan anak-anak mereka, sehingga kesalahan yang seharusnya dikoreksi menjadi terabaikan. maka karena itu, akan jauh lebih baik untuk tidak menunda dalam mengoreksi kesalahan yang telah diperbuat anak-anak sebelum menjadi lupa sama sekali
6. Terlalu mudah dan berlebihan memberi pujian
Memuji anak memang baik jika memang mereka dalam kondisi yang pantas untuk di puji, tetapi memberikan pujian terlalu berlebihan juga bukanlah hal yang baik pula. Memberikan pujian dengan dengan berlebihan dan mudah akan terkesan “murah”. Maka dari itu jika seorang anak melakukan sesuatu yang sederhana, tidak perlu untuk memuji dengan “Luar Biasa! Luar Biasa!” Karena anak secara alamiah akan mengetahui hal-hal yang dia lakukan dengan biasa-biasa saja atau secara luar biasa.
Yang patut untuk diperhatikan, pujilah sikap anak, dan jangan memuji dirinya atau hasil perbuatannya. Sekiranya ia mendapat hasil bagus di sekolah, pujilah “Alhamdulillaah, Ayah/ Ibu bangga dengan kerja keras kamu sehingga kamu mendapat nilai yang baik!”
Jika kita memuji hasil yang dilakukan oleh anak dan bukan sikapnya, sangat mungkin anak akan berfokus pada hasil dan tanpa memperdulikan dengan sikap/ karakter yang baik, misalnya… demi mendapatkan nilai ujian bagus, anak akan rela mencontek atau bertanya pada teman ketika saat ujian.
7. Mengatakan “Kamu Selalu…” atau “Kamu tidak pernah…”
Tak perlu untuk melontarkan kalimat dengan "Kamu selalu...." atau "Kamu tidak pernah...". Memang, kata-kata tersebut kadang secara refleks langsung terucap oleh orangtua, namun alangkah lebih baik hindarilah penggunaan kalimat tersebut.
"Hati-hati, kedua kata-kata itu memiliki makna di dalamnya. Di dalam pernyataan "Kamu selalu..." dan "Kamu tidak pernah" adalah label yang bisa melekat selamanya di dalam diri anak," ujar Jenn Berman PhD, seorang psikoterapis.
Berman mengungkapkan, kedua pernyataan yang kerap dilontarkan oleh orang tua ini akan membentuk kepribadian anak. Anak-anak akan menjadi seperti apa yang dikatakan terhadap dirinya. Misalnya Bila orangtua mengatakan sang anak selalu lupa menelepon ke rumah ketika akan pulang terlambat, maka ia akan menjadi anak yang tidak pernah menelepon ke rumah.
Tetapi "Sebaliknya, bertanyalah kepada anak tentang apa yang bisa orangtua lakukan untuk membantu dia mengubah kebiasaannya. Misalnya, 'Ibu perhatikan kamu sering lupa membawa pulang buku pelajaran ke rumah. Apa yang bisa Ibu bantu supaya kamu ingat untuk membawa bukumu pulang nak?'. Pernyataan seperti itu akan membuat anak merasa terbantu dan merasa nyaman," jelas dr Berman.
8. Selalu mengatakan “Bukan begitu caranya, sini biar ibu saja!”
Pernyataan lainnya yang harus dihindari adalah "Bukan begitu caranya. Sini, biar Ibu saja." Biasanya orangtua mengeluarkan pernyataan ini apabila mereka meminta anak membantu sebuah pekerjaan, namun anak tidak melakukannya seperti apa yang dikehendaki. Dr Berman mengatakan, orang tua harus menghindari pernyataan tersebut.
"Ini sebuah kesalahan, karena ia (anak) menjadi tidak belajar bagaimana caranya. Daripada berkata demikian, lebih baik ibu melakukan langkah kolaboratif dengan mengajak anak melakukan pekerjaan itu bersama sambil ibu menjelaskan bagaimana cara melakukannya dengan benar," saran dr Berman.
9. Menumbuhkan Rasa Takut Dan Minder Pada Anak
Kadang, Pada saat anak menangis, kita selalu menakut-nakuti mereka agar lekas berhenti menangis. Hingga ditakut-takuti mereka dengan gambaran hantu, suara angin dan lain-lain. Dampaknya adalah, anak akan tumbuh menjadi seorang yang penakut : Takut pada bayangannya sendiri, takut pada sesuatu yang sebenarnya tidak perlu untuk ditakuti. Misalnya takut saat ke kamar mandi sendiri, takut tidur sendiri karena seringnya mendengar cerita-cerita tentang hantu, dan lain-lain.
Dan yang paling parah tanpa disadari, kita telah menanamkan rasa takut kepada dirinya sendiri. Atau misalnya, kita khawatir pada saat mereka jatuh dan ada darah di wajahnya, tangan atau lututnya. Semestinya, kita bersikap dengan tenang serta menampakkan senyuman ketika menghadapi ketakutan anak tersebut. Bukan justru dengan menakut-nakutinya, bahkan menampar wajahnya, atau dengan memarahinya serta membesar-besarkan masalah. Akibatnya adalah, tangisan anak akan semakin keras, serta akan terbiasa menjadi seorang penakut jika melihat darah atau merasa sakit.
10. Mendidiknya Menjadi Sombong, Panjang Lidah, Congkak Terhadap Orang Lain. Serta Dianggap Sebagai Sikap Pemberani.
Kesalahan tersebut merupakan kebalikan dari point 9. Yang benar ialah bersikap tengah-tengah, tidak berlebihan dan tidak pula dikurang-kurangi. Berani tidak harus dengan bersikap sombong atau congkak kepada orang lain. Tetapi, sikap berani yang selaras pada tempatnya dan rasa takut apabila memang sesuatu itu harus dan pantas untuk ditakuti. Misalnya : takut untuk berbohong, karena ia tahu, jika Tuhan tidak suka pada anak yang suka berbohong, atau rasa takut kepada binatang buas yang membahayakan. Dengan mendidik anak untuk berani dan tidak takut untuk melakukan dan mengamalkan kebenaran.
11. Membiasakan Anak-Anak Untuk Hidup Berfoya-foya, Bermewah-mewah Dan Sombong.
Dengan kebiasaan tersebut, anak akan tumbuh menjadi anak yang suka dengan kemewahan, serta suka bersenang-senang. dan hanya akan mementingkan dirinya sendiri, tanpa memperdulikan keadaan orang lain. Mendidik anak seperti ini dapat merusak fitrahnya sebagai manusia sebagai mahluk sosial akibat dari sifat sombong dan kebiasaan hidup berfoya-foya dan hedonisme. Tak bisa menerima keadaan saat menghadapi suatu keadaan yang berbeda, selain itu juga mengajarkan anak kelak yang hanya tau bagaimana menyenangkan dirinya tanpa mau berusaha dengan cara yang tepat untuk memenuhi kesenangannya bahkan kondisi anak kemungkinan besar akan menjadi manusia yang selalu mencari cara-cara untuk memenuhi hasrat kebiasaaanya.
12. Selalu Memenuhi Apa Yang Jadi Permintaan Anak
Tidak sedikit orang tua yang selalu memberi setiap apa yang diinginkan anaknya, tanpa memperdulikan dampak baik dan buruknya bagi anak. Padahal, tidak setiap apa yang diinginkan anaknya adalah sesuatu yang bermanfaat atau sesuai dengan usia dan kebutuhannya. Sebagai contoh, anak minta tas baru yang sedang trend saat itu, padahal baru sebulan yang lalu orang tua telah membelikan tas yang baru. Dalam hal ini, hanya akan menghambur-hamburkan uang. Kalau anak sudah terbiasa terpenuhi semua permintaanya, maka mereka akan tumbuh menjadi anak yang tidak pernah peduli pada nilai uang dan beratnya mencari nafkah. Serta mereka akan menjadi orang yang tidak bisa membelanjakan uangnya dengan baik.
13. Selalu Memenuhi Permintaan Anak, Ketika Menangis, Terutama Anak Yang Masih Kecil.
Sering terjadi anak merengek bahkan sampai menangis, karena minta sesuatu. Jika ditolak sebab suatu alasan, dia akan memaksa atau mengeluarkan senjatanya, yaitu menangis. Pada akhirnya, orang tua pun luluh dan segera memenuhi permintaannya dikarenakan kasihan atau supaya anak lekas berhenti dari menangisnya. Hal itu justru dapat menyebabkan sang anak menjadi lemah, cengeng dan tidak memiliki jati diri.
14. Terlalu Keras Dan Kaku Pada Anak Yang Melebihi Batas Kewajaran.
Misalnya dengan memukul anak sampai merah atau memar-memar, selalu memarahinya dengan bentakan dan cacian, atau dengan cara-cara keras lainnya. Hal ini kadangkala terjadi pada saat sang anak sengaja atau tidak berbuat suatu kesalahan. Padahal dia (mungkin) tidak menyadari atau bahkan baru sekali dalam melakukannya.
15. Terlalu Pelit Pada Anak-Anak Yang Berlebihan
Sebagian orang tua ada yang terlalu pelit kepada anak-anaknya, sehingga anak-anaknya merasa tidak terpenuhi kebutuhannya. Hingga pada akhirnya mendorong anak-anak tersebut untuk mencari uang sendiri dengan menggunakan segalam macami cara. Misalnya : dengan mencuri atau mengambil yang bukan haknya, meminta-minta pada orang lain lebih tragis meminta dengan cara memaksa, atau dengan cara lainnya. Lebih parah lagi, bahkan ada orang tua yang tega dan rela untuk menitipkan anaknya di panti asuhan demi mengurangi beban hidup yang menghimpitnya. Lebih menyedihkan ada yang tega menjual anaknya, hanya dikarenakan merasa tidak mampu untuk membiayai hidup.
16. Tidak Mengasihi, Menyayangi dan Memperhatikan mereka, Hanya Memperhatikan Kebutuhan Jasmaninya Saja.
Fenomena tersebut ini banyak terjadi. Telah menyebabkan tidak sedikit anak-anak yang terjerumus ke dalam pergaulan bebas akibat dari kurangnya perhatian.
Tidak sedikit orang tua yang mengira, bahwa mereka telah memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya dengan semua kebutuhannya dicukupi, dan merasa telah memberikan pendidikan yang baik, makanan dan minuman yang bergizi, pakaian yang bagus dan sekolah yang berkualitas. Sementara itu, tidak ada upaya untuk mendidik anak-anaknya agar beragama secara benar serta memiliki mulia. Orang tua lupa, bahwa anak tidak hanya cukup hanya diberi materi saja.
Anak-anak juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Bila kasih sayang tidak di dapatkan dirumahnya, maka ia akan mencarinya dari orang lain. Misalnya seorang anak perempuan, karena kurangnya perhatian dari kedua orang tua dan keluarganya ia mencari perhatian dari laki-laki di luar lingkungan keluarganya. Sehingga dia merasa senang mendapatkan perhatian dari laki-laki tersebut, hanya karena sering memujinya, merayu dan sebagainya. Hingga ia rela menyerahkan kehormatannya demi cinta buta yang semu. Contoh lain anak laki-laki yang kurang perhatian dan jauh dari kasih sayang orang tuanya sangat rentan untuk terjerumus kedalam hal-hal yang negatif lebih membahayakan lagi jika terjerumus kedalam lembah hitam kejahatan dan narkoba, sangat miris. Hal ini perlu cermati dengan seksama.
17. Terlalu Berprasangka Baik Kepada Anak-Anaknya Tanpa Melihat Bagaimana Keadaannya.
Tidak sedikit orang tua yang selalu berprasangka baik kepada anak-anaknya. Menyangka, bahwa anak-anaknya selalu dalam keadaan baik-baik saja dan orang tua merasa tidak perlu ada yang dikhawatirkan pada anak-anaknya, sehingga tidak pernah mengecek keadaan mereka, tidak mengenal siapa teman dekat anaknya, serta tak mau tahu apa saja aktifitasnya. Karena sangat percaya kepada anak-anaknya. Namun ketika tiba-tiba, mendapati anaknya terkena musibah atau gejala yang menyimpang atau tidak lazim, misalnya terkena narkoba, barulah orang tua tersentak kaget dan menyesali keadaaan. Berusaha menutup-nutupinya serta segera memaafkannya. Akhirnya yang tersisa hanyalan penyesalan tak berguna.
Dari kesalahan-kesalahan tersebut diatas yang dilakukan ketika dalam mendidik anak patut untuk dihindari, demi kepentingan dan keberlangsungan efek kejiwaan dan psikologi anak itu sendiri, bukankah jika anak yang bisa membuat kedua orang tuanya bangga adalah suatu kebanggaan tersendiri jika menerapkan pola-pola yang tepat dalam mendidik anak.
disadur dari berbagai sumber
referensi
ummi-umionline.com
facebook
Dalam mendidik anak selai keterlibatan dari orang tuanya juga diperlukan pendidikan dilingkungan yang tepat hal itu berguna agar tumbuh kembang anak bisa menjadi manusia yang mampu berjiwa sosial. Seperti analogi untuk memotong kuku tangan kiri membutuhkan tangan kanan begitupun sebaliknya, sehingga untuk mendidik seorang anakpun diperlukan keterlibatan pihak-pihak selain kedua orang tuanya seperti guru-guru dan patut untuk diperhatikan harus dengan guru yang tepat bagi anak tersebut. Salah memilih gurupun dampaknya akan jauh dari harapan bahkan akan jauh dari apa yang diperkirakan oleh kedua orang tuanya.
Selain itu untuk mendidik anak kedua orang tuanya patut untuk mengupgrade pemahamannya tiap hari hal itu agar dalam mendidik anak-anaknya sesuai kondisi zaman dimana mereka hidup, jadi pola pendidikan yang diterima oleh kedua orang tuanya belum tentu akan sesuai dengan pola pendidikan anak-anaknya karena mereka hidup pada zaman yang berbeda, contoh kecil pada era anak-anak kedua orang tuanya saat itu belum ada gadged seperti saat ini yang tak sukar untuk ditemukan itu hanya sebuah contoh kecil saja.
Bagi seorang muslim mungkin sudah mengenal siapa itu sayyidina Umar bin Khoththab yang memberikan pesan begitu mulia “Didiklah anak-anakmu, karena mereka akan hidup pada zaman yang berbeda dengan zamanmu,” demikian pesan Khalifah Kedua Umat Islam, Umar bin Khaththab. Pesan yang mudah untuk dipahami.
Salah satu cara mendidik anak yang baik tentu saja melalui perantara lisan, namun disayangkan tidak sedikit orangtua dalam hal ini khususnya ibu, yang belum betul-betul memahami akan pentingnya menjaga kata-kata ketika di depan anak-anaknya, karena itu dapat berpengaruh signifikan besar pada perkembangan diri, psikologis, dan konsep diri pada anak.
Adapun beberapa hal yang patut untuk dihindari dari kesalahan-kesalahan dalam mendidik anak yang sebaiknya untuk tidak diucapkan kepada anak, terutama saat usia dini hingga tujuh tahun:
1. Memberikan Pernyataan Yang Negatif Perihal Diri Anak
Sebagai contoh
“Kamu ini anak yang pelit ya!”
“Dasar Kamu anak pemalas!”
“Kamu itu gendut!”
“Kamu nakal Banget!”
Dari beberapa Jenis pernyataan diatas hal itu dapat menyakiti perasaan dari anak-anak. Mereka akan menjadi seperti apa yang telah kedua orang tua mereka katakan padanya. Hal ini teramat sangat berbahaya, mengingat dari kata-kata yang diucapkan oleh seorang ibu bisa berarti menjadi doa untuk anak-anaknya.
Namun sebaliknya, untuk mengatakan hal-hal positif kepada anak. Apabila anaknya menerima nilai yang buruk, maka tak perlu untuk mengatakan, “Kamu itu memang bodoh!”; tetapi katakan sesuatu yang lebih tepat. Contohnya, katakanlah, “Jika kamu belajar lebih giat lagi, maka kamu akan mendapatkan nilai yang jauh lebih baik dibandingkan hari ini sebetulnya kamu adalah anak yang pintar.” Dengan demikian kata-kata seperti itu akan jauh lebih menenangkan hati hati anak?
2. Mengatakan “Jangan Ganggu, Ibu Sedang Sibuk!”
Dari ucapan tersebut tampaknya seperti hal yang biasa dan normal. Ketika seorang ibu sedang sibuk memasak di rumahnya. Atau dimana ayah sedang sibuk pula membaca berita menarik di koran. Atau bahkan sedang melanjutkan tugas yang dibawanya dari kantor. Sehingga ia mengunci diri di kamar agar bisa fokus dalam pekerjaannya. Hingga kemudia tiba-tiba anak datang untuk memintanya sebuah bantuan. Dalam situasi yang ketat tersebut, kedua orang tuanya dapat berteriak pada anak, “Jangan ganggu dulu! Tahu tidak Ayah dan ibu sedang sibuk! ”
Menurut Suzette Haden Elgin PhD., seorang penulis yang juga seorang pelatih bela diri verbal yang dikutip dari parenting.com, menyebutkan bahwa jika kedua orang tua bertindak seperti itu, maka anak-anak mungkin akan merasa tidak berarti, karena apabila mereka meminta sesuatu pada kedua orang tuanya, mereka akan dihardik untuk segera pergi.
Dapat dibayangkan apa yang terjadi Jika sikap tersebut itu diterapkan pada anak-anak, maka hingga mereka tumbuh dewasa, kemungkinan besar yang terjadi adalah mereka akan merasa bahwa tidak akan ada gunanya untuk berbicara dengan kedua orangtuanya karena semua itu akan dianggap sia-sia.
Suzette lebih menyarankan agar jika memang sedang dalam keadaan benar-benar sibuk, maka cobalah untuk mengalihkan perhatian anak-anak untuk melakukan kegiatan yang lain sebelum kita membantu mereka. Misalnya, jika saat mereka meminta bantuan dalam melakukan pekerjaan rumah mereka sementara kondisi saat itu keadaan kedua orang tua sedang benar-benar sibuk, maka mintalah pada mereka untuk melakukan aktivitas lain terlebih dahulu seperti menonton TV. Hingga kemudian, datangilah mereka untuk membantunya, dengan catatan porsi waktu untuk anak menunggu tersebut tidak terlalu lama.
3. Mengatakan pernyataan yang tidak tepat “Kamu Jangan Menangis!”
Ketika berurusan dengan anak-anak yang bertengkar dengan teman-temannya atau merasa kecewa akibat dari perlakuan tertentu, maka yang harus menyikapinya dengan cara yang bijaksana. Tidak perlu untuk memarahi atau bahkan meminta anak-anak agar tidak cengeng. Tidak sedikit anak-anak yang mengalami hal tersebut, dimana orang tuanya mengatakan pada mereka, “Kamu Jangan cengeng!”, “Jangan sedih!”, “Jangan takut!”
Menurut Debbie Glasser, seorang psikolog anak, mengungkapkan bahwa kata-kata tersebut akan mengajarkan pada anak-anak bahwa perasaan sedih merupakan sesuatu hal yang tidak umum, dan menangis bukanlah suatu hal yang baik, sementara menangis sendiri merupakan salah satu ekspresi dari emosi tertentu yang dimiliki setiap manusia.
Maka karena itu, dalam menangani masalah tersebut, akan lebih baik jika meminta pada anak-anak untuk menjelaskan hal apa yang telah membuat mereka sedih. Apabila mereka merasa diperlakukan tidak adil oleh teman-teman mereka, maka jelaskan pada mereka bahwa perilaku tersebut yang dilakukan teman-teman mereka adalah perbuatan yang tidak baik.
Dengan memberikan pemahaman pada mereka akan gambaran perasaan yang sedang mereka rasakan, maka orang tua telah memberikan pada mereka suatu pelajaran empati. Anak-anak yang sedang menangis akan segera menghentikan tangisnya atau setidaknya mereka juga akan mengurangi tangisan.
4. Membanding-bandingkan Anak
Contohnya “Coba lihatlah kakakmu, dia bisa melakukannya dengan cepat. Mengapa kamu tidak bisa melakukannya juga?”
“Temanmu bisa menggambar dengan bagus, tetapi kenapa kamu tidak?”
“Dulu ketika ibu kecil bisa begini begitu, masa kok kamu tidak bisa?!”
Dengan membanding-bandingkan anak itu hanya akan membuat keadaan anak akan merasa bingung serta menjadi kurang percaya diri. Lebih parah bahkan anak-anak akan membenci kedua orang tuanya itu disebabkan mereka selalu mendapatkan perlakuan buruk dari perbandingan tersebut (terhadap kakak, adik, atau anak-anak lain), sedangkan perkembangan tiap-tiap anak adalah berbeda.
Daripada terus membandingkan anak-anak, Orang tua sebaiknya membantu untuk menyelesaikan dan memecahkan persoalannya. Misalnya, ketika anak mengalami masalah dalam mengenakan pakaian mereka sedangkan saudara mereka bisa melakukannya lebih cepat, orang tua harus membantu mereka untuk melakukannya dengan benar.
5. Mengatakan “Tunggu Ayah Pulang ya! Nanti kamu akan dihukum ayah!”
Ada kalanya ketika seorang ibu sedang berada di rumah bersama dengan anak-anak mereka tanpa ada ayahnya. Pada saat anak melakukan suatu kesalahan, ibu tidak segera memberitahu perihal kesalahan yang mereka buat. Ibu hanya mengatakan, “Tunggu sampai ayahmu pulang.” Ini berarti menunggu sampai ayahnya yang akan menghukumnya nanti.
Dengan menunda mengatakan dan memberitahu kesalahan mereka itu hanya akan memperburuk keadaan. Ada kemungkinan bahwa ketika seorang ibu menceritakan kembali kesalahan yang telah dilakukan oleh anak-anak mereka, ibu malah membesar-besarkannya sehingga anak-anak menerima hukuman yang lebih dari seharusnya.
Ada kemungkinan juga orang tua menjadi lupa kesalahan akan anak-anak mereka, sehingga kesalahan yang seharusnya dikoreksi menjadi terabaikan. maka karena itu, akan jauh lebih baik untuk tidak menunda dalam mengoreksi kesalahan yang telah diperbuat anak-anak sebelum menjadi lupa sama sekali
6. Terlalu mudah dan berlebihan memberi pujian
Memuji anak memang baik jika memang mereka dalam kondisi yang pantas untuk di puji, tetapi memberikan pujian terlalu berlebihan juga bukanlah hal yang baik pula. Memberikan pujian dengan dengan berlebihan dan mudah akan terkesan “murah”. Maka dari itu jika seorang anak melakukan sesuatu yang sederhana, tidak perlu untuk memuji dengan “Luar Biasa! Luar Biasa!” Karena anak secara alamiah akan mengetahui hal-hal yang dia lakukan dengan biasa-biasa saja atau secara luar biasa.
Yang patut untuk diperhatikan, pujilah sikap anak, dan jangan memuji dirinya atau hasil perbuatannya. Sekiranya ia mendapat hasil bagus di sekolah, pujilah “Alhamdulillaah, Ayah/ Ibu bangga dengan kerja keras kamu sehingga kamu mendapat nilai yang baik!”
Jika kita memuji hasil yang dilakukan oleh anak dan bukan sikapnya, sangat mungkin anak akan berfokus pada hasil dan tanpa memperdulikan dengan sikap/ karakter yang baik, misalnya… demi mendapatkan nilai ujian bagus, anak akan rela mencontek atau bertanya pada teman ketika saat ujian.
7. Mengatakan “Kamu Selalu…” atau “Kamu tidak pernah…”
Tak perlu untuk melontarkan kalimat dengan "Kamu selalu...." atau "Kamu tidak pernah...". Memang, kata-kata tersebut kadang secara refleks langsung terucap oleh orangtua, namun alangkah lebih baik hindarilah penggunaan kalimat tersebut.
"Hati-hati, kedua kata-kata itu memiliki makna di dalamnya. Di dalam pernyataan "Kamu selalu..." dan "Kamu tidak pernah" adalah label yang bisa melekat selamanya di dalam diri anak," ujar Jenn Berman PhD, seorang psikoterapis.
Berman mengungkapkan, kedua pernyataan yang kerap dilontarkan oleh orang tua ini akan membentuk kepribadian anak. Anak-anak akan menjadi seperti apa yang dikatakan terhadap dirinya. Misalnya Bila orangtua mengatakan sang anak selalu lupa menelepon ke rumah ketika akan pulang terlambat, maka ia akan menjadi anak yang tidak pernah menelepon ke rumah.
Tetapi "Sebaliknya, bertanyalah kepada anak tentang apa yang bisa orangtua lakukan untuk membantu dia mengubah kebiasaannya. Misalnya, 'Ibu perhatikan kamu sering lupa membawa pulang buku pelajaran ke rumah. Apa yang bisa Ibu bantu supaya kamu ingat untuk membawa bukumu pulang nak?'. Pernyataan seperti itu akan membuat anak merasa terbantu dan merasa nyaman," jelas dr Berman.
8. Selalu mengatakan “Bukan begitu caranya, sini biar ibu saja!”
Pernyataan lainnya yang harus dihindari adalah "Bukan begitu caranya. Sini, biar Ibu saja." Biasanya orangtua mengeluarkan pernyataan ini apabila mereka meminta anak membantu sebuah pekerjaan, namun anak tidak melakukannya seperti apa yang dikehendaki. Dr Berman mengatakan, orang tua harus menghindari pernyataan tersebut.
"Ini sebuah kesalahan, karena ia (anak) menjadi tidak belajar bagaimana caranya. Daripada berkata demikian, lebih baik ibu melakukan langkah kolaboratif dengan mengajak anak melakukan pekerjaan itu bersama sambil ibu menjelaskan bagaimana cara melakukannya dengan benar," saran dr Berman.
9. Menumbuhkan Rasa Takut Dan Minder Pada Anak
Kadang, Pada saat anak menangis, kita selalu menakut-nakuti mereka agar lekas berhenti menangis. Hingga ditakut-takuti mereka dengan gambaran hantu, suara angin dan lain-lain. Dampaknya adalah, anak akan tumbuh menjadi seorang yang penakut : Takut pada bayangannya sendiri, takut pada sesuatu yang sebenarnya tidak perlu untuk ditakuti. Misalnya takut saat ke kamar mandi sendiri, takut tidur sendiri karena seringnya mendengar cerita-cerita tentang hantu, dan lain-lain.
Dan yang paling parah tanpa disadari, kita telah menanamkan rasa takut kepada dirinya sendiri. Atau misalnya, kita khawatir pada saat mereka jatuh dan ada darah di wajahnya, tangan atau lututnya. Semestinya, kita bersikap dengan tenang serta menampakkan senyuman ketika menghadapi ketakutan anak tersebut. Bukan justru dengan menakut-nakutinya, bahkan menampar wajahnya, atau dengan memarahinya serta membesar-besarkan masalah. Akibatnya adalah, tangisan anak akan semakin keras, serta akan terbiasa menjadi seorang penakut jika melihat darah atau merasa sakit.
10. Mendidiknya Menjadi Sombong, Panjang Lidah, Congkak Terhadap Orang Lain. Serta Dianggap Sebagai Sikap Pemberani.
Kesalahan tersebut merupakan kebalikan dari point 9. Yang benar ialah bersikap tengah-tengah, tidak berlebihan dan tidak pula dikurang-kurangi. Berani tidak harus dengan bersikap sombong atau congkak kepada orang lain. Tetapi, sikap berani yang selaras pada tempatnya dan rasa takut apabila memang sesuatu itu harus dan pantas untuk ditakuti. Misalnya : takut untuk berbohong, karena ia tahu, jika Tuhan tidak suka pada anak yang suka berbohong, atau rasa takut kepada binatang buas yang membahayakan. Dengan mendidik anak untuk berani dan tidak takut untuk melakukan dan mengamalkan kebenaran.
11. Membiasakan Anak-Anak Untuk Hidup Berfoya-foya, Bermewah-mewah Dan Sombong.
Dengan kebiasaan tersebut, anak akan tumbuh menjadi anak yang suka dengan kemewahan, serta suka bersenang-senang. dan hanya akan mementingkan dirinya sendiri, tanpa memperdulikan keadaan orang lain. Mendidik anak seperti ini dapat merusak fitrahnya sebagai manusia sebagai mahluk sosial akibat dari sifat sombong dan kebiasaan hidup berfoya-foya dan hedonisme. Tak bisa menerima keadaan saat menghadapi suatu keadaan yang berbeda, selain itu juga mengajarkan anak kelak yang hanya tau bagaimana menyenangkan dirinya tanpa mau berusaha dengan cara yang tepat untuk memenuhi kesenangannya bahkan kondisi anak kemungkinan besar akan menjadi manusia yang selalu mencari cara-cara untuk memenuhi hasrat kebiasaaanya.
12. Selalu Memenuhi Apa Yang Jadi Permintaan Anak
Tidak sedikit orang tua yang selalu memberi setiap apa yang diinginkan anaknya, tanpa memperdulikan dampak baik dan buruknya bagi anak. Padahal, tidak setiap apa yang diinginkan anaknya adalah sesuatu yang bermanfaat atau sesuai dengan usia dan kebutuhannya. Sebagai contoh, anak minta tas baru yang sedang trend saat itu, padahal baru sebulan yang lalu orang tua telah membelikan tas yang baru. Dalam hal ini, hanya akan menghambur-hamburkan uang. Kalau anak sudah terbiasa terpenuhi semua permintaanya, maka mereka akan tumbuh menjadi anak yang tidak pernah peduli pada nilai uang dan beratnya mencari nafkah. Serta mereka akan menjadi orang yang tidak bisa membelanjakan uangnya dengan baik.
13. Selalu Memenuhi Permintaan Anak, Ketika Menangis, Terutama Anak Yang Masih Kecil.
Sering terjadi anak merengek bahkan sampai menangis, karena minta sesuatu. Jika ditolak sebab suatu alasan, dia akan memaksa atau mengeluarkan senjatanya, yaitu menangis. Pada akhirnya, orang tua pun luluh dan segera memenuhi permintaannya dikarenakan kasihan atau supaya anak lekas berhenti dari menangisnya. Hal itu justru dapat menyebabkan sang anak menjadi lemah, cengeng dan tidak memiliki jati diri.
14. Terlalu Keras Dan Kaku Pada Anak Yang Melebihi Batas Kewajaran.
Misalnya dengan memukul anak sampai merah atau memar-memar, selalu memarahinya dengan bentakan dan cacian, atau dengan cara-cara keras lainnya. Hal ini kadangkala terjadi pada saat sang anak sengaja atau tidak berbuat suatu kesalahan. Padahal dia (mungkin) tidak menyadari atau bahkan baru sekali dalam melakukannya.
15. Terlalu Pelit Pada Anak-Anak Yang Berlebihan
Sebagian orang tua ada yang terlalu pelit kepada anak-anaknya, sehingga anak-anaknya merasa tidak terpenuhi kebutuhannya. Hingga pada akhirnya mendorong anak-anak tersebut untuk mencari uang sendiri dengan menggunakan segalam macami cara. Misalnya : dengan mencuri atau mengambil yang bukan haknya, meminta-minta pada orang lain lebih tragis meminta dengan cara memaksa, atau dengan cara lainnya. Lebih parah lagi, bahkan ada orang tua yang tega dan rela untuk menitipkan anaknya di panti asuhan demi mengurangi beban hidup yang menghimpitnya. Lebih menyedihkan ada yang tega menjual anaknya, hanya dikarenakan merasa tidak mampu untuk membiayai hidup.
16. Tidak Mengasihi, Menyayangi dan Memperhatikan mereka, Hanya Memperhatikan Kebutuhan Jasmaninya Saja.
Fenomena tersebut ini banyak terjadi. Telah menyebabkan tidak sedikit anak-anak yang terjerumus ke dalam pergaulan bebas akibat dari kurangnya perhatian.
Tidak sedikit orang tua yang mengira, bahwa mereka telah memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya dengan semua kebutuhannya dicukupi, dan merasa telah memberikan pendidikan yang baik, makanan dan minuman yang bergizi, pakaian yang bagus dan sekolah yang berkualitas. Sementara itu, tidak ada upaya untuk mendidik anak-anaknya agar beragama secara benar serta memiliki mulia. Orang tua lupa, bahwa anak tidak hanya cukup hanya diberi materi saja.
Anak-anak juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Bila kasih sayang tidak di dapatkan dirumahnya, maka ia akan mencarinya dari orang lain. Misalnya seorang anak perempuan, karena kurangnya perhatian dari kedua orang tua dan keluarganya ia mencari perhatian dari laki-laki di luar lingkungan keluarganya. Sehingga dia merasa senang mendapatkan perhatian dari laki-laki tersebut, hanya karena sering memujinya, merayu dan sebagainya. Hingga ia rela menyerahkan kehormatannya demi cinta buta yang semu. Contoh lain anak laki-laki yang kurang perhatian dan jauh dari kasih sayang orang tuanya sangat rentan untuk terjerumus kedalam hal-hal yang negatif lebih membahayakan lagi jika terjerumus kedalam lembah hitam kejahatan dan narkoba, sangat miris. Hal ini perlu cermati dengan seksama.
17. Terlalu Berprasangka Baik Kepada Anak-Anaknya Tanpa Melihat Bagaimana Keadaannya.
Tidak sedikit orang tua yang selalu berprasangka baik kepada anak-anaknya. Menyangka, bahwa anak-anaknya selalu dalam keadaan baik-baik saja dan orang tua merasa tidak perlu ada yang dikhawatirkan pada anak-anaknya, sehingga tidak pernah mengecek keadaan mereka, tidak mengenal siapa teman dekat anaknya, serta tak mau tahu apa saja aktifitasnya. Karena sangat percaya kepada anak-anaknya. Namun ketika tiba-tiba, mendapati anaknya terkena musibah atau gejala yang menyimpang atau tidak lazim, misalnya terkena narkoba, barulah orang tua tersentak kaget dan menyesali keadaaan. Berusaha menutup-nutupinya serta segera memaafkannya. Akhirnya yang tersisa hanyalan penyesalan tak berguna.
Dari kesalahan-kesalahan tersebut diatas yang dilakukan ketika dalam mendidik anak patut untuk dihindari, demi kepentingan dan keberlangsungan efek kejiwaan dan psikologi anak itu sendiri, bukankah jika anak yang bisa membuat kedua orang tuanya bangga adalah suatu kebanggaan tersendiri jika menerapkan pola-pola yang tepat dalam mendidik anak.
disadur dari berbagai sumber
referensi
ummi-umionline.com