HIDUP BUKAN MERASA BISA TETAPI BISA MERASA
9/21/2014
Sesuatu yang harus diupayakan dalam hidup, Ki Kusumuwicitro menuliskan didalam hidup harus ada tiga
hal yang diupayakan, yakni "Netepi pranataning jagad, netepi wajibing lan kulino meneng",
artinya Menaati ketertiban alam, mengikuti kewajiban hidup, serta membiasakan diri untuk diam/ tenang, tidak sedikit yang terjebak karena ulah dan lidahnya menuntut sebuah pertanggungan jawab.
Selanjutnya murid beliau menambahkan
Benere wong urip, eling marang uripe
Lupute wong urip, lali marang uripe
Benere wong lali, ngudi kawruh kasunyatan
Lupute wong lali, lumuh ngudi kawruh kasunyatan
Wajibe wong urip, rumeksa ing uripe
Inane wong urip, ora rumeksa ing uripe
Asaling pangudi, rumasa, asaling lumuh tan rumasa
Dadi wajib pecak pisan, wong urip kudu rumangsa kawulo
( Soedjonoredjo, 1924:3)
Benarnya Manusia hidup adalah ingat akan hidupnya
Salahnya manusia hidup adalah lupa akan hidupnya
Benarnya manusia lupa adalah tidak lupa untuk melihat kenyataan
Salahnya manusia lupa adalah melupakan untuk melihat kenyataan
Hinanya manusia hidup adalah tidak pernah memikirkan arti hidupnya untuk apa dan enggan untuk mencari kesejatian hidup.
Asal dari pencarian adalah bisa merasa dan asal dari keengganan adalan tak pernah mau untuk merasa
Jadi kewajiban manusia adalah bisa menjadi manusia yang bisa merasa sebagai seorang hamba yang tiada ada arti dihadapan Tuhannya. Disaat manusia bisa mengkoreksi terus menerus akan hidupnya serta mengesampingkan pernyataan ke akuannya, dengan demikian bisa merasa lebih dekat lagi dengan Tuhannya serta hidup akan menjadi lebih berkualitas lagi.
Ketika rasa perasaan belum jernih, adalah rasa perasa itu yang dianggap pribadi oleh si rasa perasaan, artinya si rasa perasaan mengaku-aku supaya dianggap ; aku. Jadi rasa-perasaan manusia itu ternyata memang tidak bisa melihat yang meliputinya. Jadi dalam perbuatan merasa, bahkan menghalang-halangi. Karenanya, dapatnya manusia melihat terhadap yang meliputinya, tidak ada jalan lain kecuali tidak dengan merasa, yaitu rasa-perasaan kembali kepada yang meliputi ( pribadi/ rasa sejati ). Apabila sudah tidak terhalang daya rasa-perasaan, maka hanya pribadi yang ada, disitulah dia akan tahu siapa dirinya dihadapan Tuhan, yaitu memiliki rasa-perasaan, bukan rasa perasaan yang dimilikinya. ( Soedjonoredjo, 1980:4 )
"Disadur dari buku nawang sari karya Damardjati supadjar"
hal yang diupayakan, yakni "Netepi pranataning jagad, netepi wajibing lan kulino meneng",
artinya Menaati ketertiban alam, mengikuti kewajiban hidup, serta membiasakan diri untuk diam/ tenang, tidak sedikit yang terjebak karena ulah dan lidahnya menuntut sebuah pertanggungan jawab.
Selanjutnya murid beliau menambahkan
Benere wong urip, eling marang uripe
Lupute wong urip, lali marang uripe
Benere wong lali, ngudi kawruh kasunyatan
Lupute wong lali, lumuh ngudi kawruh kasunyatan
Wajibe wong urip, rumeksa ing uripe
Inane wong urip, ora rumeksa ing uripe
Asaling pangudi, rumasa, asaling lumuh tan rumasa
Dadi wajib pecak pisan, wong urip kudu rumangsa kawulo
( Soedjonoredjo, 1924:3)
Benarnya Manusia hidup adalah ingat akan hidupnya
Salahnya manusia hidup adalah lupa akan hidupnya
Benarnya manusia lupa adalah tidak lupa untuk melihat kenyataan
Salahnya manusia lupa adalah melupakan untuk melihat kenyataan
Hinanya manusia hidup adalah tidak pernah memikirkan arti hidupnya untuk apa dan enggan untuk mencari kesejatian hidup.
Asal dari pencarian adalah bisa merasa dan asal dari keengganan adalan tak pernah mau untuk merasa
Jadi kewajiban manusia adalah bisa menjadi manusia yang bisa merasa sebagai seorang hamba yang tiada ada arti dihadapan Tuhannya. Disaat manusia bisa mengkoreksi terus menerus akan hidupnya serta mengesampingkan pernyataan ke akuannya, dengan demikian bisa merasa lebih dekat lagi dengan Tuhannya serta hidup akan menjadi lebih berkualitas lagi.
Ketika rasa perasaan belum jernih, adalah rasa perasa itu yang dianggap pribadi oleh si rasa perasaan, artinya si rasa perasaan mengaku-aku supaya dianggap ; aku. Jadi rasa-perasaan manusia itu ternyata memang tidak bisa melihat yang meliputinya. Jadi dalam perbuatan merasa, bahkan menghalang-halangi. Karenanya, dapatnya manusia melihat terhadap yang meliputinya, tidak ada jalan lain kecuali tidak dengan merasa, yaitu rasa-perasaan kembali kepada yang meliputi ( pribadi/ rasa sejati ). Apabila sudah tidak terhalang daya rasa-perasaan, maka hanya pribadi yang ada, disitulah dia akan tahu siapa dirinya dihadapan Tuhan, yaitu memiliki rasa-perasaan, bukan rasa perasaan yang dimilikinya. ( Soedjonoredjo, 1980:4 )
"Disadur dari buku nawang sari karya Damardjati supadjar"