JANGAN LAGI TABUKAN PENDIDIKAN SEKSUALITAS


Susi, seorang siswi Madrasah Tsanawiyah di sebuah pesantren meringis kesakitan. Hari ini, ia mendapatkan menstruasi untuk pertama kali. Awalnya, ia merasa sedikit ketakutan menemukan bercak merah di celana dalamnya.

Dan lambat laun jumlahnya semakin banyak sehingga beberapa kali ia harus mengganti pakaian dalamnya. Dengan was-was ia ceritakan hal itu kepada Haifa sahabatnya, yang untunglah telah memiliki pengetahuan soal itu karena ia telah terlebih dahulu mengalaminya. Lalu, ia mengajarkan pada  Susi bagaimana cara memasang pembalut wanita. Mungkin karena grogi, Susi tak lagi memperhatikannya dengan seksama. Ia terbalik memasangnya, sehingga justru bagian perekat pembalut itu melekat pada organ seksualnya.

Sementara itu Anto seorang remaja SMP, merasa ketakutan pada ibunya karena telah mengotori seprei Naruto favoritnya. Pagi ini, dia bangun tidur dalam keadaan basah seperti mengompol, setelah tadi malam bermimpi kencan dengan salah satu penyanyi girl-band pujaan hatinya. Ia bingung pada siapa harus bercerita. Ibunya pasti akan memarahinya dan menganggapnya kolokan, sementara ia takut kalau harus becerita pada ayahnya. Mau bercerita pada teman pun, ia khawatir jadi bahan olok-olok teman sekelasnya.

Kisah Susi maupun Anto, sebenarnya hanya sedikit tentang beragam kisah remaja yang mengalami kegamangan karena minimnya akses informasi yang benar dan tepat terkait dengan seksualitas dan kesehatan reproduksi. Selama ini, kebanyakan masyarakat menganggap bahwa perbincangan seputar seksualitas dan kesehatan reproduksi adalah hal yang tabu. ’Saru’ kata orang Jawa, atau ’pamali’ kata orang Sunda. Singkat kata, tidak pantas. Oleh karenanya, orang tua baik ibu maupun ayah merasa kurang penting untuk memahami situasi maupun membicarakan secara terbuka tentang hal ini kepada anak-anaknya.

Berapa banyak anak seperti Susi yang telah mengalami persiapan menghadapi menstruasi dari orang tuanya sendiri? Dan berapa  banyak pula remaja laki-laki seperti Anto  yang bisa  bercerita dengan nyaman pada sang ayah mengenai mimpi basah yang dialami?

Banyak salah kaprah di masyarakat sehingga memandang ’seksualitas’ sebatas hubungan intim (baca: hubungan seksual) antara laki-laki dan perempuan dewasa, yang hanya dapat  dilakukan  setelah dilangsungkannya perkawinan. Soal menstruasi dan mimpi basah, soal alat dan fungsi organ reproduksi, seringkali menjadi domain pihak sekolah yang semestinya diajarkan oleh Guru Agama (terutama Fiqh) maupun Guru Biologi.

Padahal, perkembangan jiwa yang dialami oleh seorang anak, bagaimana identitas gender ditanamkan, seringkali terjadi pada masa pubertas, di mana orang tua mestinya lebih bisa memantau perkembangan putra-putrinya.

Tak heran, ide soal ”pendidikan seks” selalu memunculkan kontroversi. Gagasan untuk memasukkan materi pendidikan seks  dan kesehatan reproduksi di dalam kurikulum sekolah dituduh sebagai ajang penyebaran pornografi. Sehingga, pada tahun 1989 , Kejaksaan Tinggi Daerah husus Ibukota Jakarta memusnahkan lebih dari 8000 eksemplar buku pendidikan seks bagi anak-anak yang merupakan karya terjemahan yang disunting oleh seorang ahli pendidikan, Profesor Conny R. Semiawan bertajuk ’Adik Baru’.

Sesungguhnya, ketertutupan masyarakat tentang pendidikan seks di kalangan anak dan remaja justru dapat memicu terjadinya bencana sosial. Ketidaktahuan anak akan praktik incest yang dilakukan oleh orang dewasa,  perkosaan ’atas nama cinta’  yang dilakukan oleh sang pacar,  kehamilan yang tak diinginkan (KTD) yang memicu tingginya kasus Married By Accident (MBA),  kejahatan seksual di dunia maya  maupun  yang diakibatkan oleh pergaulan dengan orang yang hanya dikenal melalui jejaring sosial, justru membuat anak-anak dan kaum remaja menjadi rentan korban. Selain itu, informasi yang salah kaprah justru membuat mereka menjadi sosok yang tidak memiliki perilaku seksual yang sehat dan bertanggung jawab.

Seringkali didengungkan bahwa ’Pelajaran Agama’ ataupun ’Budi Pekerti’ yang berisi nilai-nilai adalah solusi jitu untuk mengatasi beragam problematika kekinian remaja terkait dengan soal seksualitas. Namun, tanpa visi dan perspektif yang baik mata pelajaran itu justru akan terjebak untuk menyampaikan sejumlah perintah dan larangan yang membuat remaja semakin terasing dari dunianya.

Remaja perlu diajak untuk mengenali organ reproduksi mereka sendiri maupun fungsi-fungsinya, bagaimana cara menjaga alat maupun fungsi reproduksi mereka,  serta bagaimana tatanan sosial turut andil dalam memaknai seksualitas dan reproduksi tersebut.

Remaja juga perlu diajarkan tentang ’otonomi tubuh’ serta ’bela diri’,  agar memiliki perilaku seksual yang sehat dan bertanggung jawab, serta dapat menghadapi pihak-pihak lain yang hendak menyerang otonomi tubuhnya. Tak peduli bahwa mereka adala orang-orang yang selama ini mereka tuakan, atau seseorang yang sangat mereka cintai. AD. Kusumaningtyas  

Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari program penguatan akses kesehatan reproduksi dan seksual untuk remaja yang didukung oleh Kedutaan Norwegia dan Hivos yang melibatkan organisasi Rahima, PKBI, Pamflet dan Pusat Studi Gender dan Seksualitas UI.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel